Konon dahulu kala, di Bhumi Sriwijaya memerintahlah seorang raja yang adil
dan bijak sana. Raja ini memiliki seorang puteri yang cantik jelita
bernama Siti Fatimah. Banyak pemuda-pemuda tampan dari berbagai penjuru
nusantara datang, namun tidak satu pun yang bisa menaklukkan hati puteri Siti
Fatimah.
Namun pada suatu hari, datanglah sebuah kapal besar dari negeri Cina,
bersama dengan rombongan yang dipimpin seorang pangeran bernama Tam BUn An.
“Hmmm… Haiya…. Ini ternyata kerajaan Sriwijaya yang terkenal itu. Kotanya
memang megah, penduduknya ramah-ramah dan makanan pempeknya uenak sekali, ya. Haiya….” Kata sang pangeran.
“Pangeran Tam Bun An mau langsung menemui puteri Siti Fatimah?” Tanya sang
nahkoda kapal.
“Iyalah. Aku kan jauh-jauh ke Bhumi Sriwijaya ini karena tertarik
kecantikan sang puteri Siti Fatimah, haruslah aku datang menemuinya sesegera
mungkin.” Kata pangeran Tam Bun An.
“Ayo, pengawal. Kita langsung ke istana untuk menemui puteri raja. Siapkan
barongsai dan musik perkusi yang meriah untuk menarik hatinya.” Kata sang
nahkoda kapal.
Lalu rombongan pangeran dari Cina ini masuk ke kota Sriwijaya dengan
meriah, di depan ada barongsai singa dengan dua orang pembawa pangeran Tam Bun
An dan sang nahkoda. Di belakangnya ada 10 orang pengawal dengan barongsai
naganya. Kemudian yang terakhir adalah rombongan 10 orang membawa serta
menabuh gendang dan perkusi lainnya.
Rombongan barongsai ini memainkan musik dan atraksinya tepat di depan
istana raja Sriwijaya dan keramaian itu membuat puteri Siti Fatimah tertarik
melihatnya.
“Dayang, ada apa gerangan di luar sana? Seperti ada keramaian dan musik
yang menarik?” Kata sang puteri.
“Sepertinya ada rombongan penari barongsai tuan puteri. Kabarnya sudah dua
hari mereka berlabuh di dermaga dipimpin oleh pangeran tampan dari Cina.” Kata
si dayang.
“Oh, aku ingin sekali melihat atraksi mereka dayang. Mari kita ke pintu
gerbang!” Dan puteri Siti Fatimah bersama dayang serta beberapa pengawal
menonton pertunjukan barongsai itu sambil bertepuk tangan senang sekali.
“Wah, tarian dan gerakan silat serta musik kalian begitu indah sekali, dari
manakah gerangan tuan?” Tanya sang puteri.
“Haiya..Saya Tam Bun An dari negeri Cina, ingin sekali bertemu dengan
puteri Siti Fatimah yang cantik jelita. Segala musik dan gerak tari serta
gerakan kung-fu yang tadi kami peragakan, semuanya untuk dipersembahkan pada
sang puteri jelita…Haiya..”
“Oh, terima kasih pangeran tampan. Kalau boleh saya tahu apakah maksud
kedatangan pangeran ke mari ?” Tanya sang puteri dengan pipi merona merah.
“Haiya….Saya datang kemari hanya untuk satu tujuan menemui sang puteri Siti
Fatimah yang kabarnya seperti bidadari. Ternyata kabar itu benar sekali, saya
malahan seperti melihat 7 bidadari dari kahyangan. Haiya…” Sang pangeran
merayu, membuat puteri tambah malu-malu. Begitu banyak pangeran di nusantara
yang menyatakan rasa suka, namun baru sekali ini hati puteri Siti Fatimah
menjadi bergelora oleh rasa cinta.
Seperti sudah ada perasaan kenal lama, keduanya pun saling suka dan dalam 3
kali pertemuan bertekad menyatukan cinta.
Lalu ada bangsawan istana yang pernah ditolak cintanya oleh Siti Fatimah iri
hati dan memberitahukan ke raja tentang hal ini. Dia mengatakan bahwa sang
pangeran mau membawa puteri pergi ke negeri Cina.
“Cepat panggil pangeran Cina itu menghadapku!” Kata Raja Bhumi Sriwijaya.
“Hamba menghadap raja.” Kata sang pangeran Cina.
“Apa benar kau dan puteriku Siti Fatimah saling mencinta?”
“Benar raja. Hamba benar-benar mencintai puteri raja yang gagah perkasa.”
“Anak muda, adat istiadat kita berbeda dan beta tidak bersedia anakku kau
bawa ke negeri Cina!” Kata sang Raja.
“Haiya…Saya sudah belajar adat istiadat sini raja dan saya bersedia tinggal
dan bekerja dagang di Bhumi Sriwijaya duhai raja.” Sang pangeran Cina
menyanggupi.
“Kalau begitu duduk perkaranya. Baiklah, kau boleh menjadi menantuku dengan
syarat, kau memberikan uang mahar sejumlah 9 guci besar berisi emas untuk
meminang puteriku.” Kata sang raja.
“Baiklah raja, permintaan raja akan saya sampaikan.”
Lalu pangeran membuat surat yang dititipkan ke merpati pos yang terbang
sampai ke istana orang tuanya di negeri Cina.
Ayahanda sang pangeran mengirim surat balik dan menyatakan menyanggupinya.
Lalu bangsawan Cina itu mengirimkan 9 buah guci berisi emas batangan.
Akan tetapi supaya jangan diincar oleh penjahat bajak laut dari Somalia,
maka ayah si pangeran memerintahkan, “Masukkan sayur-mayur di bagian paling
atas guci-guci itu, supaya para bajak laut Somalia tidak tertarik merampok dan
menguasai kapal kita”.
“Perintah dilaksanakan tuan!” Kata si pelayan bangsawan Cina.
Dan 2 bulan kemudian, sampailah kapal beserta 9 guci itu ke Bhumi
Sriwijaya. Pangeran dengan bahagia menyampaikan kabar itu pada puteri Siti
Fatimah dan ayahandanya.
“Haiya…Sembilan guci kiriman ayahanda sudah datang tuanku Raja. Mari kita
ke kapal untuk melihatnya.”
“Mari para pengawal dan puteriku. Kita pergi ke dermaga.” Kata sang raja.
“Haiya…Itu guci ada 9 dan besar-besar sekali. Itu persembahan dari papa dan
mama saya tuanku raja..” Si pangeran Tam Bun An pun tertawa senang.
Tetapi saat dia membuka ke 9 guci tersebut, dia melihat isinya hanya
sayur-sayuran yang sudah membusuk.
“Ha? Kenapa papa dan mama tega berbuat seperti ini? Papa dan mama berjanji
kirimkan 9 guci berisi emas untuk meminang kekasihku Siti Fatimah? Tetapi
kenapa dikirimkan sayur-sayuran dalam guci-guci ini? Maaf, saya malu tuanku
raja. Biarlah saya buang guci-guci ini ke Sungai Musi. Papa dan mama jahat
sekali dengan aku anaknya”
“Sudahlah, kakanda. Janganlah berburuk sangka dengan ayahanda di Cina sana.
Mungkin saja ada orang lain yang jahat menukar isinya dengan sayur-sayuran.
Jangan marah dengan orang tua kakanda.” Kata sang puteri menyabarkannya.
“Tidak bisa! Ini benar-benar kelewatan. Saya benci pada papa dan mama saya.
Saya buang saja guci-guci bersayur busuk itu!” Sang pangeran pun melempar
guci-guci yang berat itu ke sungai.
Satu! Dua! Tiga!4,5,6,7,8…….Dan Saat guci ke-9 dia angkat, pangeran Tam Bun
An sudah kecapaian. Lalu guci terlepas dan pecah di lantai kapal.
“Olala…..Tampaklah diantara pecahan guci itu emas batangan yang berkilauan.
“Ha? Emas batangan?”
“Iya, kakanda, ternyata benar papa dan mama kakanda mengirimkan emas-emas
batangan di guci-guci lainnya juga. Sayur-sayuran tadi hanya untuk mengelabui
saja kakanda.” Kata puteri Siti Fatimah.
“Ya, sudahlah pangeran. Saya percaya akan niat baik orang tuamu. Biarlah
saja guci-guci yang sudah jatuh ke Sungai Musi itu. Tanpa itu semua kau masih
kuijinkan menikahi puteriku.” Kata Raja.
“Tidak tuanku Raja. Saya menyesal telah berburuk sangka dengan papa dan
mama di Cina. Saya telah durhaka memarahi mereka. Biarlah saya mengambil
kembali semua emas-emas yang saya buang ke sungai itu. Tunggu aku adinda.” Dan
walaupun sudah berusaha dicegah oleh puteri dan pengawal istana pangeran Tam
Bun An tetap terjun ke Sungai Musi.
Satu jam, dua jam, setengah hari pangeran Tam Bun An tidak muncul-muncul
lagi.
“Kanda, saya sangat mencintai kakanda. Saya akan menyusul kakanda mencari
emas itu. Bila saya tidak kembali dan muncul endapan tanah di tengah sungai
ini, anggaplah itu tempat kami berdua memadu janji.” Lalu tanpa diduga si
puteri pun melompat ke Sungai Musi dan tidak muncul-muncul lagi.
Bertahun-tahun kemudian, lambat laun muncullah endapan tanah di tempat
kedua kekasih itu terjun di tengah Sungai Musi.
Di sana dibuatkan oleh penduduk setempat sebuah kelenteng dan sebuah mesjid
tempat sembahyang yang berdampingan.
Setiap perayaan Cap Go Meh pulau itu ramai dikunjungi warga Palembang.
0 komentar:
Posting Komentar